Topeng Cirebon
Topeng Cirebon adalah topeng yang terbuat dari kayu yang cukup lunak dan mudah dibentuk namun tetap dibutuhkan ketekunan, ketelitian yang tepat, serta membutuhkan waktu yang tidak sebentar dalam proses pembuatannya. Bahkan seorang pengrajin yang sudah ahli pun untuk membuat satu topeng membutuhkan waktu hingga satu hari. Kayu yang biasa digunakan adalah kayu jarang. Topeng ini biasanya digunakan untuk kesenian tari topeng Cirebon.
Topeng Cirebon adalah topeng yang terbuat dari kayu yang cukup lunak dan mudah dibentuk namun tetap dibutuhkan ketekunan, ketelitian yang tepat, serta membutuhkan waktu yang tidak sebentar dalam proses pembuatannya. Bahkan seorang pengrajin yang sudah ahli pun untuk membuat satu topeng membutuhkan waktu hingga satu hari. Kayu yang biasa digunakan adalah kayu jarang. Topeng ini biasanya digunakan untuk kesenian tari topeng Cirebon.
Jenis
Topeng
Semua jenis topeng ini akan dikenakan pada saat pementasan tari topeng
Cirebonan yang diiringi dengan gamelan. Tepeng Cirebon yang paling pokok
ada lima yang disebut juga Topeng Panca Wanda :
Panji, wajahnya yang putih bersih melambangkan kesucian bayi yang baru
lahir
Samba (Pamindo), topeng anak-anak yang berwajah ceria, lucu, dan lincah
Rumyang, wajahnya menggambarkan seorang remaja
Patih (Tumenggung), topeng ini menggambarkan orang dewasa yang berwajah
tegas, berkepribadian, serta bertanggung jawab
Kelana (Rahwana), topeng yang menggambarkan seseorang yang sedang marah
Menurut Hasan Nawi, salah seorang pengrajin topeng Cirebon dalam
kehidupan sehari-hari setiap manusia seperti mengenakan topeng, misalnya
saja pada saat marah seperti sudah mengganti topeng berwajah ceria
dengan topeng kemarahan. Kalau ada orang dewasa yang sikapnya
kekanak-kanakan maka ia seperti sedang mengganti topeng dewasanya dengan
topeng anak-anak
Tarling
Tarling adalah salah satu jenis musik yang populer di wilayah pesisir pantai utara (pantura) Jawa Barat, terutama wilayah Indramayu dan Cirebon. Nama tarling diidentikkan dengan nama instrumen itar (gitar) dan suling (seruling) serta istilah Yen wis mlatar gage eling (Andai banyak berdosa segera bertaubat). Asal-usul tarling mulai muncul sekitar tahun 1931 di Desa Kepandean, Kecamatan/Kabupaten Indramayu.[rujukan?] Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan musik Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai mewabah sekitar dekade 1930-an. Kala itu, anak-anak muda di berbagai pelosok desa di Indramayu dan Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup. Trend yang disukai dan populer, di jondol atau ranggon* anak muda suka memainkannya, seni musik ini mulai digandrungi. Pada 1935, alunan musik tarling juga dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai gong. Kemudian pada 1936, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lain berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi. Sugra dan teman-temannya pun sering diundang untuk manggung di pesta-pesta hajatan, meski tanpa honor. Biasanya, panggung itu pun hanya berupa tikar yang diterangi lampu petromaks (saat malam hari). Tak berhenti sampai di situ, Sugra pun melengkapi pertunjukkan tarlingnya dengan pergelaran drama. Adapun drama yang disampaikannya itu berkisah tentang kehidupan sehari-hari yang terjadi di tengah masyarakat. Akhirnya, lahirlah lakon-lakon seperti Saida-Saeni, Pegat-Balen, maupun Lair-Batin yang begitu melegenda hingga kini. Bahkan, lakon Saida-Saeni yang berakhir tragis, selalu menguras air mata para penontonnya. Namun yang pasti, nama tarling saat itu belum digunakan sebagai jenis aliran musik. Saat itu nama yang digunakan untuk menyebut jenis musik ini adalah Melodi Kota Ayu untuk wilayah Indramayu dan Melodi Kota Udang untuk wilayah Cirebon. Dan nama tarling baru diresmikan saat RRI sering menyiarkan jenis musik ini dan oleh Badan Pemerintah Harian (saat ini DPRD) pada tanggal 17 Agustus 1962 meresmikan nama Tarling sebagai nama resmi jenis musiknya. Tapi satu hal yang pasti, seni tarling saat ini meskipun telah hampir punah. Namun demikian, tarling selamanya tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah masyarakat pesisir pantura. Dikarenakan tarling adalah jiwa mereka, dengan ikut sawer keatas panggung atau sekedar melihatnya, dan mendengarnya seolah mampu menghilangkan beratnya beban hidup yang menghimpit. Lirik lagu maupun kisah yang diceritakan di dalamnya, juga mampu memberikan pesan moral yang mencerahkan dan menghibur.
Tarling adalah salah satu jenis musik yang populer di wilayah pesisir pantai utara (pantura) Jawa Barat, terutama wilayah Indramayu dan Cirebon. Nama tarling diidentikkan dengan nama instrumen itar (gitar) dan suling (seruling) serta istilah Yen wis mlatar gage eling (Andai banyak berdosa segera bertaubat). Asal-usul tarling mulai muncul sekitar tahun 1931 di Desa Kepandean, Kecamatan/Kabupaten Indramayu.[rujukan?] Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan musik Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai mewabah sekitar dekade 1930-an. Kala itu, anak-anak muda di berbagai pelosok desa di Indramayu dan Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup. Trend yang disukai dan populer, di jondol atau ranggon* anak muda suka memainkannya, seni musik ini mulai digandrungi. Pada 1935, alunan musik tarling juga dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai gong. Kemudian pada 1936, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lain berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi. Sugra dan teman-temannya pun sering diundang untuk manggung di pesta-pesta hajatan, meski tanpa honor. Biasanya, panggung itu pun hanya berupa tikar yang diterangi lampu petromaks (saat malam hari). Tak berhenti sampai di situ, Sugra pun melengkapi pertunjukkan tarlingnya dengan pergelaran drama. Adapun drama yang disampaikannya itu berkisah tentang kehidupan sehari-hari yang terjadi di tengah masyarakat. Akhirnya, lahirlah lakon-lakon seperti Saida-Saeni, Pegat-Balen, maupun Lair-Batin yang begitu melegenda hingga kini. Bahkan, lakon Saida-Saeni yang berakhir tragis, selalu menguras air mata para penontonnya. Namun yang pasti, nama tarling saat itu belum digunakan sebagai jenis aliran musik. Saat itu nama yang digunakan untuk menyebut jenis musik ini adalah Melodi Kota Ayu untuk wilayah Indramayu dan Melodi Kota Udang untuk wilayah Cirebon. Dan nama tarling baru diresmikan saat RRI sering menyiarkan jenis musik ini dan oleh Badan Pemerintah Harian (saat ini DPRD) pada tanggal 17 Agustus 1962 meresmikan nama Tarling sebagai nama resmi jenis musiknya. Tapi satu hal yang pasti, seni tarling saat ini meskipun telah hampir punah. Namun demikian, tarling selamanya tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah masyarakat pesisir pantura. Dikarenakan tarling adalah jiwa mereka, dengan ikut sawer keatas panggung atau sekedar melihatnya, dan mendengarnya seolah mampu menghilangkan beratnya beban hidup yang menghimpit. Lirik lagu maupun kisah yang diceritakan di dalamnya, juga mampu memberikan pesan moral yang mencerahkan dan menghibur.
Masres
Nama Masres diambil dari nama jenis kain yang bertekstur halus, kain-kain tersebut dipergunakan dalam setiap pertunjukannya sebagai dekorasi. Dulu kain-kain tersebut hanya berupa kain-kain polos yang diberi warna dan dinamai Masres kuning, Masres hijau, Masres merah dan lain-lain. Sejalan dengan perubahan bentuk pertunjukannya, dekorasi kain yang berbentuk polos kini menjadi dekorasi terlukis yang disebut layar / kelir (backdrop). Layar tersebut merupakan gambaran realitas kehidupan yang dituangkan dalam bentuk lukisan dan memperkuat jalan cerita.
Nama Masres diambil dari nama jenis kain yang bertekstur halus, kain-kain tersebut dipergunakan dalam setiap pertunjukannya sebagai dekorasi. Dulu kain-kain tersebut hanya berupa kain-kain polos yang diberi warna dan dinamai Masres kuning, Masres hijau, Masres merah dan lain-lain. Sejalan dengan perubahan bentuk pertunjukannya, dekorasi kain yang berbentuk polos kini menjadi dekorasi terlukis yang disebut layar / kelir (backdrop). Layar tersebut merupakan gambaran realitas kehidupan yang dituangkan dalam bentuk lukisan dan memperkuat jalan cerita.
Sintren
Sintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Banyumas, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal juga dengan nama lais. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono. Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Dalam perkembangannya tari sintren sebagai hiburan budaya, kemudian dilengkapi dengan penari pendamping dan bodor (lawak). Dalam permainan kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain dalam permainan Sintren, si pawang (dalang) sering mengundang Roh Dewi Lanjar untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar berhasil diundang, maka penari Sintren akan terlihat lebih cantik dan membawakan tarian lebih lincah dan mempesona.
Sintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Banyumas, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal juga dengan nama lais. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono. Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Dalam perkembangannya tari sintren sebagai hiburan budaya, kemudian dilengkapi dengan penari pendamping dan bodor (lawak). Dalam permainan kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain dalam permainan Sintren, si pawang (dalang) sering mengundang Roh Dewi Lanjar untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar berhasil diundang, maka penari Sintren akan terlihat lebih cantik dan membawakan tarian lebih lincah dan mempesona.
Batik Trusmi
Daerah sentra produksi batik Cirebon berada di desa Trusmi Plered Cirebon yang konon letaknya di luar Kota Cirebon sejauh 4 km menuju arah barat atau menuju arah Bandung. Di desa Trusmi dan sekitarnya terdapat lebih dari 1000 tenaga kerja atau pengrajin batik. Tenaga kerja batik tersebut berasal dari beberapa daerah yang ada di sekitar desa Trusmi, seperti dari desa Gamel, Kaliwulu, Wotgali dan Kalitengah.
Daerah sentra produksi batik Cirebon berada di desa Trusmi Plered Cirebon yang konon letaknya di luar Kota Cirebon sejauh 4 km menuju arah barat atau menuju arah Bandung. Di desa Trusmi dan sekitarnya terdapat lebih dari 1000 tenaga kerja atau pengrajin batik. Tenaga kerja batik tersebut berasal dari beberapa daerah yang ada di sekitar desa Trusmi, seperti dari desa Gamel, Kaliwulu, Wotgali dan Kalitengah.
Kisah
membatik desa Trusmi berawal dari peranan Ki Gede Trusmi. Salah seorang
pengikut setia Sunan Gunung Jati ini mengajarkan seni membatik sembari
menyebarkan Islam. Sampai sekarang, makam Ki Gede masih terawat baik,
malahan setiap tahun dilakukan upacara cukup khidmat, upacara Ganti
Welit (atap rumput) dan Ganti Sirap setiap empat tahun. Disepanjang
jalan utama yang berjarak 1,5 km dari desa Trusmi sampai Panembahan,
saat ini banyak kita jumpai puluhan showroom batik. Berbagai papan nama
showroom nampak berjejer menghiasi setiap bangunan yang ada di tepi
jalan. Munculnya berbagai showroom ini tak lepas dari tingginya minat
masyarakat terutama dari luar kota terhadap batik Cirebon.
Batik
Trusmi berhasil menjadi ikon batik dalam koleksi kain nasional. Batik
Cirebon sendiri termasuk golongan Batik Pesisir, namun juga sebagian
batik Cirebon termasuk dalam kelompok batik keraton. Hal ini dikarenakan
Cirebon memiliki dua buah keraton yaitu Keratonan Kasepuhan dan Keraton
Kanoman, yang konon berdasarkan sejarah dari dua keraton ini muncul
beberapa desain batik Cirebonan Klasik yang hingga sekarang masih
dikerjakan oleh sebagian masyarakat desa Trusmi diantaranya seperti
motif Mega Mendung, Paksinaga Liman, Patran Keris, Patran Kangkung,
Singa Payung, Singa Barong, Banjar Balong, Ayam Alas, Sawat Penganten,
Katewono, Gunung Giwur, Simbar Menjangan, Simbar Kendo dan lain-lain.
Beberapa hal penting yang bisa dijadikan keunggulan atau juga merupakan ciri khas yang dimiliki oleh batik Cirebon adalah sbb:
a.
Desain batik Cirebonan yang bernuansa klasik tradisional pada
umumnya selalu mengikut sertakan motif wadasan (batu cadas) pada
bagian-bagian motif tertentu. Disamping itu terdapat pula unsur ragam
hias berbentuk awan (mega) pada bagian-bagian yang disesuaikan dengan
motif utamanya.
b. Batik Cirebonan klasik tradisional selalu bercirikan memiliki
warna pada bagian latar (dasar kain) lebih muda dibandingkan dengan
warna garis pada motif utamanya.
c.
Bagian latar atau dasar kain biasanya nampak bersih dari noda hitam
atau warna-warna yang tidak dikehendaki pada proses pembuatan. Noda dan
warna hitam bisa diakibatkan oleh penggunaan lilin batik yang pecah,
sehingga pada proses pewarnaan zat warna yang tidak dikehendaki meresap
pada kain.
d.
Garis-garis motif pada batik Cirebonan menggunakan garis tunggal dan
tipis (kecil) kurang lebih 0,5 mm dengan warna garis yang lebih tua
dibandingkan dengan warna latarnya. Hal ini dikarenakan secara proses
batik Cirebon unggul dalam penutupan (blocking area) dengan menggunakan
canting khusus untuk melakukan proses penutupan, yaitu dengan
menggunakan canting tembok dan bleber (terbuat dari batang bambu yang
pada bagian ujungnya diberi potongan benang-benang katun yang tebal
serta dimasukkan pada salah satu ujung batang bambu).
e.
Warna-warna dominan batik Cirebonan klasik tradisional biasanya
memiliki warna kuning (sogan gosok), hitam dan warna dasar krem, atau
berwarna merah tua, biru tua, hitam dengan dasar warna kain krem atau
putih gading.
f.
Batik Cirebonan cenderung memilih sebagian latar kainnya dibiarkan
kosong tanpa diisi dengan ragam hias berbentuk tanahan atau rentesan
(ragam hias berbentuk tanaman ganggeng). Bentuk ragam hias tanahan atau
rentesan ini biasanya digunakan oleh batik-batik dari Pekalongan.
Masih
dengan batik Cirebonan, namun mempunyai ciri yang berbeda dengan yang
sebelumnya yaitu kelompok batik Cirebonan Pesisiran. Batik Cirebonan
Pesisiran sangat dipengaruhi oleh karakter masyarakat pesisiran yang
pada umumnya memiliki jiwa terbuka dan mudah menerima pengaruh budaya
asing.
Perkembangan
pada masa sekarang, pewarnaan yang dimiliki oleh batik Cirebonan lebih
beraneka warna dan menggunakan unsur-unsur warna yang lebih terang dan
cerah, serta memiliki bentuk ragam hias yang bebas dengan memadukan
unsur binatang dan bentuk-bentuk flora yang beraneka rupa.
Pada
daerah sekitar pelabuhan biasanya banyak orang asing yang singgah,
berlabuh hingga terjadi perkawinan etnis yang berbeda (asimilasi), maka
batik Cirebonan Pesisiran lebih cenderung menerima pengaruh budaya dari
luar yang dibawa oleh pendatang.
Sehingga
batik Cirebon yang satu ini lebih cenderung untuk bisa memenuhi atau
mengikuti selera konsumen dari berbagai daerah (lebih kepada pemenuhan
komoditas perdagangan dan komersialitas), sehingga warna-warna batik
Cirebonan Pesisiran lebih atraktif dengan menggunakan banyak warna.
Produksi
batik Cirebonan pada masa sekarang terdiri dari batik Tulis, batik Cap
dan batik kombinasi tulis cap. Pada tahun 1990 – 2000 ada sebagian
masyarakat pengrajin batik Cirebonan yang memproduksi kain bermotif
batik Cirebonan dengan teknik sablon tangan (hand printing), namun
belakangan ini teknik sablon tangan hampir punah, dikarenakan kalah
bersaing dengan teknik sablon mesin yang dimiliki oleh
perusahaan-perusahaan yang lebih besar.
Pertumbuhan
batik Trusmi nampak bergerak dengan cepat mulai tahun 2000, hal ini
bisa dilihat dari bermunculan showroom-showroom batik yang berada di
sekitar jalan utama desa Trusmi dan Panembahan. Pemilik showroom batik
Trusmi hampir seluruhnya dimiliki oleh masyarakat Trusmi asli walaupun
ada satu atau dua saja yang dimiliki oleh pemilik modal dari luar
Trusmi.
Rotan
Sentra rotan di Cirebon sendiri tersebar di enam kecamatan. Sebut saja di Kecamatan Weru, terutama di desa tegalwangi. Kemudian di Kecamatan Plered, di desa Tegalsari. Lainnya, ada di Kecamatan Plumbon, Sumber, Depok dan Palimanan. Dari kecamatan-kecamatan tersebut, setidaknya 80% ekspor kerajinan rotan nasional dihasilkan. Tak berlebihan sekiranya bila sentra rotan Cirebon digolongkan sebagai sentra rotan terbesar di Indonesia dengan total ekspor kerajinan rotan sebesar 47,7 ton atau senilai USD 121, 66 juta menurut data Asosiasi Industri permebelan dan kerajinan Indoensia (Asmindo) pada tahun 2007 silam.
Sentra rotan di Cirebon sendiri tersebar di enam kecamatan. Sebut saja di Kecamatan Weru, terutama di desa tegalwangi. Kemudian di Kecamatan Plered, di desa Tegalsari. Lainnya, ada di Kecamatan Plumbon, Sumber, Depok dan Palimanan. Dari kecamatan-kecamatan tersebut, setidaknya 80% ekspor kerajinan rotan nasional dihasilkan. Tak berlebihan sekiranya bila sentra rotan Cirebon digolongkan sebagai sentra rotan terbesar di Indonesia dengan total ekspor kerajinan rotan sebesar 47,7 ton atau senilai USD 121, 66 juta menurut data Asosiasi Industri permebelan dan kerajinan Indoensia (Asmindo) pada tahun 2007 silam.
Pada
masa jayanya, sentra rotan di Cirebon mampu mengekspor sekitar 3000
kontainer sebulan. Pada saat itu, rotan Cirebon menguasai 90% pasar
dunia. Kini, sentra ini hanya mampu mengekspor sekitar 75 sampai 150
kontainer sebulan. Meski sempat mengalami keterpurukan pada masa krisis
ekonomi tahun 1998, akibat meningkatnya barga bahan baku, kerajinan
rotan kini kembali menjadi andalan sektor industri Kabupaten Cirebon.
Pemanfaatan hasil rotan cukup berpeluang untuk meningkatkan penerimaan
ekspor. Selain memenuhi kebutuhan ekspor, saat ini pemasaran kerajinan
rotan berupa ruko-ruko dan beberapa show room yang terdapat disepanjang
jalan Tegalwangi Cirebon.